Jumat, 07 November 2008

SISTEM LAND TENURE ORANG KATU

1. Pemilikan dan Penguasaan Tanah Merdeka

Di Katu, tanah-tanah dimiliki secara perseorangan dan kelompok. Lahan-lahan pertanian (Ladang), Sawah dan tanaman tahunan (Menjadi dasar untuk menjelaskan status pemilikan. Tetapi, pada lahan-lahan yang tengah diisterahatkan, dimana sudah ditumbuhi belukar, pempohonan, dan dibanyak tempat sudah menjadi hutan yang padat maka batasan kepemilikan menjadi sangat kompleks olehnya, langka paling mudah untuk menjelaskan pemilikan ta0nah adalah dengan memeriksa sejarah atauh riwayat pemanfaatan tanah tersebut.

Polah pemilikan dan penguasaan tanah orang katu terlihat pada bagaimana mereka mendefenisikan hak-haknya atas hutan dalam konsepsi mereka secara tradisional dan adapt, mereka membagi hutan dalam beberapa jenis dan tingkatan.

ORANG KATU

Orang Katu yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penduduk Desa Katu di Kecamatan Loreh Utara (sekarang Lore Tengah) Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah.

Orang Katu adalah bagian dari suku Besoa atau dalam sebutan sesunggunya Behoa. Sebagaimana dituturkan oleh orang-orang besoa sendiri, maupun di dalam litelatur-litelatur lama (Lihat Kaudern And Wassen, 1944) merujuk pada pengelompokan etnik yakni kaili, tomini, Kulawi, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Banggai, Toli-toli dan Buol (Lihat Mattulada, 1991), maka suku besoa merupakan bagian dari suku Lore.

Suku Besoa mendiami delapan desa dikawasan itu. selain Desa Katu, suku ini menyebar di Desa Doda, Bariri, Lempe, Hanggira, Torire, Rompo dan Talabosa. Orang Besoa menyebut desa Katu Torire, Rompo dan Talabosa sebagai desa Kakau atau besoa hutan, dan Desa Doda, Bariri, Lempe dan Hanggira disebut behoa ngamba atau besoa lembah, sekarang ada desa baru yang bernama Baliura sebagai Desa Trans, yang tempat itu direncanakan untuk memindahkan Desa Katu, tapi orang Katu menolak. Dimasa lalu, Besoa Kakau memang ditengah-tengah hutan. Sebutan besoa ngamba memang diperuntukan bagi lokasi ditengah-tengah lembah dataran tinggi besoa.

Orang Katu menggubakan bahasa Besoa ketika berkomunikasi antara sesame mereka, atau dengan sesame orang besoa lainnya. Bahkan mereka tetap menggunakan bahasa besoa ketika berkomunikasi dengan orang Napu, suku tetangga mereka yang menggunakan bahasa Pekurehua antara orang besoa dan orang Napu memang dapat bertukar tutur dengan menggunakan bahasa mereka sendiri-sendiri. Mayoritas diantara orang katu juga dapat berbahasa Indonesia.

Seperti orang besoa lainnya, orang Katu adalah penganut Kristen Prostestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat sejak tahun 1929 orang Katu menjadi penganut Kristen mungkin benar karena sejak tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending telah ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184, kemudian Kristen pertamapun berdiri di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, orang Kristen Pertama di Baptis di Napu, seorang laki-laki mudah (Aditjondro, 1979).

Desa Katu adalah satu diantara 21 desa di Kecamatan Lore Uatara, sekarang salah satu desa diantara 7 desa di kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Terletak pada koordinad 01° 35’19,00 (LS) dan 120° 25’ 26,8 (Bujur Timur). Berada pada ketingian 1100 m diatas permukaan laut (dpl.) dan dikelilingi hutan. Desa ini relative terisolasi, karena untuk mencapainya harus berjalan kaki atau menunggang Kuda melalui jalan setapak berkelok sejauh 7 km dari desa Rompo Sekarang sudah bias dilalui kendaraan roda dua. Waktu tempu antara satu sampai dengan dua jam dimusim hujan, waktu tempu menjadi lebih panjang karena jalan penuh dengan Lumpur. Pada tahun 2001 penduduk desa Katu berjumlah 226 Jiwa dengan komposisi kelamin 124 laki-laki, dan 102 perempuan, terdapat 67 kepalah keluarga, kini 317 jiwa dengan komposisi kelamin 168 laki-laki, dan 149 perempuan dari 97 KK.

Selasa, 30 September 2008

YTM Tuding Inco Kelabui Warga

Sumber : Mercusuar

Kamis, 11 September 2008

Morowali, Mercusuar

Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menuding PT Inco mengelabui warga Desa Oneputejaya, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali. PT Inco mengajak tim tujuh yang terdiri dari, Kades Jalan, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) D.M Sudarma, Sekder Husen, Makali, Nur Mu’min, Mastur, Gusti Sutabe serta sejumlah tokoh masyarakat untuk kembali menggelar pertemuan di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan pada 8 Agustus. Padahal, berdasarkan informasi antara 9 hingga 11 Agustus, Vice Presiden Inco, Michael L yang didampingi Arif Sudarman dan Manager Departement Boy Suryo Aditya mengunjungi areal kontrak karya Inco di blok Bahodopi.

Coordinator kantor lapangan tim Morowali Hafid kepada Koran ini mengatakan , langkah Inco itu untuk meredam aksi warga desa Oneputejaya.

Pasalnya, beberapa hari terakhir, warga Oneputejaya melakukan aksi memasang patok di areal kontrak karya PT Inco yang masuk lahan warga.

“Pertemuan ini hanya strategi Humas Inco di Soroawako untuk meredam aksi warga terkait kunjungan petinggi-petingginya di blok Bahodopi.”tandas Hafid.

Tuntutan warga dalam pertemuan di Inco membahas tentang sertifikat lahan usaha (LU) I dan proses ganti rugi LU II milik warga. Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, realisasi di lapangan tidak ada. Sebab, PT Inco tidak pernah serius terhadap masalah yang dialami warga desa Oneputejaya.

Pihak yang selama ini mendampingi warga Oneputejaya, menyarankan agar langsung balik ke Morowali begitu selesai pertemuan 8 agustus tersebut. “Untuk apa Inco melakukan pertemuan disana (Sorowako.Red), sementara penentu kebijakan ada disini (Morowali.Red),”ujarnya.

Sementara itu, perwakilan PT Inco di Morowali Saiful yang dikonfirnasi masalah tersebut tidak berhasil. Ketika dihubungi, ponselnya tidak diangkat.

Demikian pula dengan pesan layanan singkat yang dikirimkan tidak dibalas hingga berita naik cetak. CR1

Rabu, 03 September 2008

Politik Konservasi: Orang Katu di Behoa Kakau

By Arianto Sangaji. 2002.

Dalam perspektif yang berkeadilan, sistem budaya dan sistem sosial Orang Katu tidak saja boleh dilihat dari sisi negatif “orang luar”, tetapi harus ada keseimbangan pandangan dari “orang dalam” sendiri akan eksistensi mereka terhadap sumber daya alam. Dengan cara pandang yang lain ini maka kita dapat melihat bahwa Orang Katu adalah sebuah contoh mengenai kemampuan masyarakat sendiri dalam mengelola sumber daya agraria, yang berlandaskan pada rasionalitas ekonomi, budaya, hukum, ekologi, bahkan politik mereka sendiri. Berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun kemampuan ini berkembang dan dipertahankan di tengah-tengah terpaan badai perubahan, intimidasi penjajahan, dan pengaruh kuat lainnya yang datang dari luar kemampuan dan sistem sosial budaya mereka.

Pemahaman terhadap Orang Katu mesti dimulai dengan mengenali beberapa aspek tentang seluk-beluk dan cara merespon berbagai masalah kehidupan mereka di dalam pengelolaan sumber daya agraria. Aspek-aspek itu atara lain tercermin pada sistem land tenure dan pola-pola penggunaan sumber daya agraria (pertanian dan pemanfaatan hasil hutan). Dalam rangka pemahaman akan Orang Katu ini bagian yang penting ditemukenali adalah bagaimana respon mereka terhadap ancaman-ancaman yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya agraria.

Rabu, 06 Agustus 2008

Rencana Pembangunan Jalan di Desa Katu, Benarkah Ditentang BTNLL?

Ditulis oleh YTM

Rabu, 12 Maret 2008

Sumber : Suara Sulteng


“Bapak sedang rapat beserta kepala bagiannya dan tidak bisa diganggu,” demikian alasan Rahmat, staf Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) ketika dikonfirmasi via telp, Selasa (11/3) rencana pembangunan proyek jalan dan pemukiman di Desa Katu, kabupaten Poso, Sulteng. Benarkah ditentang BTNLL rencana pembangunannya?

Kepala Desa (Kades) Katu, Ali Antoli (49) turut kecewa dengan informasi itu. Karena kehadirannya ke Kantor Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu adalah usaha untuk menyukseskan program pembangunan pemukiman di desanya melalui Dinas Sosial Poso tahun anggaran 2008, serta proyek pembangunan jalan melalui Kimpraswil Kabupaten Poso tahun Angaran 2009.

Kedua proyek tersebut terancam gagal karena Kepala BTNLL, tidak mau menemui perwakilan masyarakat Katu bersama Dinas Sosial Kabupaten Poso, senin (10/3) hendak menemui Kepala BTNLL, dengan maksud meyakinkan Kepala Balai Taman Nasional bahwa rencana pembangunan dua proyek tersebut tidak akan menggangu kawasan konservasi di Taman Nasional Lore Lindu.

Sebelumnya, Bupati Poso telah setuju dengan rencana pembangunan proyek yang sangat dibutuhkan To Katu (identifikasi lokal masyarakat Katu,red-). Pertemuan itu sendiri berlangsung (5/3) minggu lalu, beberapa perwakilan masyarakat Katu yang didampingi langsung oleh Yaysan Tanah Merdeka (YTM) Palu, menemui Bupati Poso untuk meyakinkan Bupati Bahwa pelaksanaan dua proyek tidak akan mengganggu konservasi TNLL.

Manajer kampanye dan jaringan YTM Palu, Mahfud Masuara dalam siaran persnya mengingatkan BTNLL yang mungkin lupa, kalau kebijakan Negara saat ini tentang pengelolaan hutan, tidak berpihak lagi pada kepentingan konservasi. Seperti PP No 2 tahun 2008 yang prinsipnya membolehkan investasi pertambangan untuk melakukan kegiatan pertambangan di hutan lindung.

Mahfud menyesalkan sikap BTNLL yang tidak mau menemui perwakilan masyarakat Katu untuk mendiskusikan rencana pembangunan proyek tersebut. Padahal, segala masalah akan bisa diselesaikan dengan membangun komunikasi. Dia menilai kekhawatiran Kepaal BTNLL terkait rencana proyek tersebut akan mengganggu konservasi TNLL terlalu berlebihan, karena masyarakat Katu sejak lama sudah memiliki system konservasi sendiri yang berbasis pada kearifan local.

Bersama masyarakat, YTM meminta kepada Pemerintah daerah Poso untuk segera merealisasikan rencana proyek tersebut, karena desa Katu adalah desa yang memiliki hak yang sama dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Poso. Selain itu, rencana proyek tersebut tidak akan mengganggu konservasi di kawasan TNLL. Karena, desa Katu Telah mendapat pengakuan BTNLL sejak tahun 1999 untuk melakukan kegiatan pertanian dan pemukiman diatas lahan seluas 1178 ha, maka kami meminta kepala BTNLL untuk tidak menghalang-halangi pembangunan desa tersebut. “Kalo tidak diindahkan maka terpaksa masyarakat Katu bersikap untuk memperjuangkan pembangunan tersebut dengan menurunkan seluruh masyarakat Katu ke kantor BTNLL” ujar Ali Antoli


Katu yang terisoir

Desa Katu adalah salah satu diantara 8 desa di Kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah, dengan jumlah penduduk 87 KK atau 360 jiwa. Terletak pada ketinggian 1.100 meter diatas permukaan laut dan dikelilingi hutan, khusunya taman nasional.

Desa ini relatif terisolir, karena untuk mencapainya harus berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua (ojek) dengan biaya Rp 100 ribu, melalui jalan setapak berkelok-kelok sejauh 7 KM dari desa Rompo, desa terdekat yang dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat. Waktu tempuh ke desa tersebut antara satu sampai dua jam. Di musim hujan, waktu tempuh lebih panjang karena jalan sangat jelek dan penuh lumpur. Musim hujan tersulit bagi pneduduk untuk melaksanakan perjalan keluar.

Dengan kondisis transportasi seperti ini, maka harga barang menjadi lebih tinggi beberapa kali lipat. Seperti gula misalnya dapat mencapai 8 ribu seperempat kilogramnya sedang minyak taanh seharga 7 ribu. Parahnya kata Ali, ibu yang ingin melahirkan, harus dipikul dengan sarung menuju desa Rompo terus ke desa Doda, pusat pemerintahan kecamatan berjarak 30 kilometer.

Proses Pengakuan Katu

Sejak tahun 1973 wilayah Katu telah ditetapkan sebagai salah satu kawasn konservasi di Indonesia yang dikuatkan dengan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, lalu dideklarasikan di Bali Tahun 1991.

Sejak saat itu, masyarakat Katu mulai berurusan dengan soal-soal agraria dan konservasi BTNLL.

Katu punya sejarah tersendiri, sejak kehadiran TNLL tersebut, di tahun 1990-1992 mereka pernah terancam diusir (dipindah paksa dari kampung sendiri) karena keberadaan TNLL. Namun karena persatuan dan kolektivitas yang sangat tinggi diantara sesama warganya, pindah paksa tersebut tidak jadi terlaksana. Bahkan berkat perjuangan yang tetap konsisten tersebut, Katu justru mendapat pengakuan dari BTNLL 1999 di masa kepemimpinan Banjar Yulianto,MM. dalam pengakuan tersebut, salah satu item menyebutkan bahwa, Desa Katu tidak masuk dalam daerah inclav. Juga, dalam lembar pengakuan tersebut, disebutkan, masyarakat Katu bisa mengelola areal seluas 1178 ha, untuk kebutuhan pemukiman dan pertanian.

Pengakuan ini juga didasarkan karena orang Katu bisa meyakinkan berbagai pihak tentang system konservasi menurut kearifan local mereka.

Namun surat pengakuan tersebut tidak cukup menyelesaikan masalah Katu sampai saat ini. Meski masyarakatnya bisa secara bebas bertani, menanam apa saja, baik tanaman jangka pendek, maupun tanaman jangka panjang. Orang Katu tetap tidak bisa menikmati pembangunan sebagaimana layaknya desa-desa lain di Kecamatan Lore Tengah. Padahal desa Katu adalah desa secara administrative diakui keberadaannya jauh sebelum Taman Nasional hadir.