Kamis, 10 Juli 2008

Riwayat Hidup Toi Katu

Meski tidak ada informasi tertulis mengenai Desa Katu, tetapi desa ini memiliki riwayat yang

cukup panjang, paling tidak sejak awal abad ini. Seperti terlihat pada peta yang dikeluarkan oleh

Belanda pada tahun 1938 (Kruyt, 1938) di mana Katu jelas-jelas ada di sana.

Antara tahun 1910-1918, Orang Katu telah membuka hinoe (ladang) di sekitar Mapohi dan

Parabu. Tahun 1918, serdadu Belanda membakar hinoe yang siap panen dan lumbung makanan mereka.

Oleh Belanda, mereka dipaksa pindah ke Behoa Ngamba. Alasannya, mereka lebih mudah dikontrol,

ketimbang menetap di Katu

Beberapa pemuka masyarakat dari Bariri dan Hangira di Behoa Ngamba, antara lain Marato

(Umana Timboko = Bapaknya Timboko), Ntoapa (Umana Tahoe), Togoe, Mpande (Umana Geo),

Tokena (Umana Toreo), Tobuse (Umana Duri) beserta 7 orang pengikut mereka telah membuka kebunkebun

kopi mereka di Toporarena, nama sebuah tempat di Katu.

Pada tahun 1925, orang-orang itu menemui Raja Kabo di Wanga, untuk menjelaskan kesulitan

dalam membayar pajak (blasting) kepada Belanda. Seperti diketahui, bahwa wilayah Napu telah

ditaklukkan oleh Belanda 1905 oleh Letnan Voskuil (lihat Kruyt, 1975 : 184). Mereka mengemukakan

usaha perkebunan kopi di Katu sebagai jalan keluar. Raja Kabo merestui usaha itu.

Setahun berikutnya, mereka sudah membuat pemukiman di Katu. Tahun 1928, Raja Kabo

sendiri datang ke Katu meresmikan kampung baru tersebut. Ia datang bersama Wesseldijk untuk

membangun sekolah di Katu. J.W. Wesseldijk sendiri adalah seorang penginjil dataran tinggi di kawasan

itu (Kruyt, 1975). Kepala kampung Katu yang pertama adalah Marato. Setelah itu, mulai berdatangan

penduduk dari Besoa Ngamba dalam jumlah yang lebih banyak.

Pada tahun 1949, Orang Katu dipindahkan ke Bangkeluho. Alasannya, mereka kelaparan dan

menunggak membayar blasting. Kepala Distrik Langa Langimpu sebelumnya berjanji membantu

pemindahan itu dengan dua ton beras. Kenyataannya, hanya gabah yang diberikan, sehingga jauh dari

jumlah yang dijanjikan.

Di Bangkeluho, Orang Katu merasakan penderitaan, karena sukar mendapatkan kayu untuk

bangunan rumah dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka juga konflik dengan orang Bariri, yang

sebelumnya memang menguasai wilayah itu. Meskipun begitu, mereka tetap bertahan di sana beberapa

tahun.

Pada ahir tahun 1959, Orang Katu dipimpin oleh Humpui Torae (Umana Dema) kembali ke

Katu dari Bangkeluho. Kepindahan itu sama sekali tidak disetujui oleh Kepala Distrik M Bago. Karena

pada masa itu, daerah-daerah dataran tinggi di kawasan itu di bawah penguasaan Permesta, maka oleh

Kepala Distrik, Humpu Torae dilaporkan kepada Mayor Gerungan3. Ketika menemui Mayor.Gerungan,

3 Mayor Dee Gerungan adalah Komandan Sektor II Resimen Tim Pertempuran “Anoa” di Sulawesi

Tengah, dengan markas besar di Poso sejak tahun 19 Pebruari 1958 ; dia adalah anggota seksi keamanan

dari bantuan pemerintahan militer Permesta. Setelah dilakukan pendaratan pasukan pemerintah di Palu

dan Donggala pada bulan Maret & April 1958, Gerungan pergi menuju ke arah selatan bersama 200 anak

buahnya, dan pada bulan Mei 1959 menandatangani suatu persetujuan kerja sama militer dengan DII/TII.

Setelah usahanya yang gagal melarikan diri pada bulan April 1960, ia masuk Islam dan menjadi ajudan

5

Humpui Torae (pernah menjadi pengangkut barang pasukan Permesta) menjelaskan berbagai kesulitan

yang dialami Orang Katu di Bangkeluho, dan ternyata pimpinan Permesta itu menyetujuinya.

Raja Gembu dan Kepala Distrik M Bago datang ke Katu membuat upacara resmi Orang Katu

tetap tinggal di Katu. Upacara itu ditandai dengan penanaman pohon beringin dan sumpah (tôtôwi) agar

Orang Katu tetap bertahan di sana. Sejak itu, Orang Katu tetap tinggal di sana hingga saat ini.

Ketika pindah kembali ke Katu, Humpui Torae juga mengajak para pengungsi dari Suku Rampi

di Sulawesi Selatan yang terpaksa bermukim di Behoa Ngamba, karena peristiwa DI/TII. Orang-orang ini

kemudian membangun desa di sebelah Desa Katu dengan nama Desa Dodolo. Dengan alasan taman

nasional Desa Dodolo kemudian dipindahkan lagi ke antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa pada tahun

1989 (lihat Sangadji, 1999, Azis, 1999)

Minggu, 06 Juli 2008

Toi Katu Ibehoa Kakau

Orang Katu kerap menjadi korban dari berbagai kambing hitam. Dituding sebagai peladang berpindah dalam konotasi negatif (UNDP/FAO, 1977, World Wildlife Fund, 1981), pemasok hasil hutan (rotan) secara illegal (Lamangkona, 1998,Wibowo, 1997). Seperti daerah-daerah dataran tinggi lainnya di Indonesia yang secara negatif dikaitkan dengan keterbelakangan, kebodohan kemiskinan, ketidakaturan, keras kepala dalam menolak kehidupan yang disebut ‘normal’ (Murray Li, 1999:2), Orang Katu juga sering mendapatkan perlakuan dan stereo type yang sama.

Jika menggunakan cara pandang yang lain, Orang Katu adalah sebuah contoh mengenai kemampuan masyarakat sendiri dalam mengelola sumber daya agraria, yang berlandaskan pada alasan-alasan ekonomi, budaya, hukum, ekologi, bahkan politik mereka sendiri. Berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun kemampuan ini berkembang dan dipertahankan di tengah-tengah pengaruh kuat kekuatan yang datang dari luar kemampuan mereka.

Pemahaman terhadap Orang Katu mesti dimulai dengan mengenali beberapa aspek seluk-beluk kemampuan mereka di dalam pengelolaan sumber daya agraria. Aspek-aspek itu antara lain tercermin pada sistem land tenure dan pola-pola penggunaan sumber daya agraria (pertanian dan pemanfaatan hasil hutan). Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respon mereka terhadap ancaman-ancaman yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya agraria.

Menurut Wiradi (1984:290) land tenure memperoleh arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah-masalah yang pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk kepada pendekatan juridis. Artinya, penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Dalam analisa tenurial aspek penting yang diperhatikan adalah pemilikan dan penguasaan yang berbasis public dan private. Public adalah label legal yang digunakan untuk pemilikan dan penguasaan oleh pemerintah atau negara. Sedangkan private berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh entitas non-negara, baik individu maupun sebagai kelompok. Dalam analisa tenurial, terdapat kemungkinan 4 (empat) kombinasi ; private indivual ; private communal ; public individual ; public communal (Lynch & Janis, 1994).

Dalam kontek politik agraria di Indonesia, analisa tenurial sangat berguna untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara pemerintah (negara) dan masyarakat dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria. Dengan analisa ini akan bisa dilihat bagaimana pemerintah dan masyarakat memberikan lebel terhadap pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria, dan implikasi yang ditimbulkan dari pelebelan itu. Diskursus mengenai “tanah negara” atau “hutan negara” dan “tanah adat” atau “hutan adat”, sebenarnya merupakan contoh betapa kompleknya hubungan negara dan masyarakat dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria.

Kecuali menggunakan analisa tenurial, maka untuk memahami Orang Katu secara lebih baik mesti dilakukan dengan mengerti sistem perladangan mereka Karena perladangan merupakan bagian penting dari siklus kehidupan Orang Katu. Seperti dikatakan Dove (1988:1) tanpa mengenal sistem perladangan, kita tidak akan mengenal sebagian besar penduduk dan sumber daya di Indonesia.

Meskipun banyak pendapat yang menyatakan perladangan dalam konotasi yang negatif, antara lain, misalnya dijalankan di tanah tropis yang gersang ; tidak adanya konsep pemilikan tanah pribadi ; penggundulan dan ersoi tanah yang serius (lihat Geertz, 1983:15). Tetapi, disini akan menguraikan gambaran yang berbeda dari sistem perladangan Orang Katu dan kekuatan-kekuatan yang mereka punyai dalam sistem itu.

Selain mengerti sistem perladangan, aspek penting lain yang tidak kalah pentingnya adalah memahami hubungan antara Orang Katu dengan hutan. Orang Katu dan hutan di sekeliling mereka mempunyai hubungan kesejarahan yang panjang. Hubungan-hubungan itu tercermin pada pola pengelolaan sumber daya alam (hutan) atas dasar kepentingan Orang Katu. Fakta hutan yang terjaga sebelum adanya penetapan kawasan yang dilindungi oleh pemerintah memperlihatkan bahwa dari sudut Orang Katu, tidak ada praktik destruktif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Orang Katu adalah tulang punggung dari kelestarian sumber daya hutan di sekitar mereka.

Pengalaman Orang Katu merupakan salah satu contoh dari pandangan ekologi sosial, yang menganggap penjaga terbaik hutan tropik adalah masyarakat di sekitar hutan mereka sendiri (lihat Gray, 1991). Sebagai paralelnya adalah pandangan ekopopulis yang menghargai pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat di sekita hutan (lihat Dietz, 1996). Pandangan-pandangan ini meyakini bahwa masyarakat di sekitar hutan memiliki pola-pola hubungan dengan sumber daya alam di sekitarnya, yang sama sekali tidak merusak lingkungan. Karenanya, mereka harus diakui eksistensinya untuk melangsungkan kehidupannya di sekitar hutan-hutan mereka.

Sebaliknya, selama ini stigma yang kerap ditimpakan kepada Orang Katu sebagai perusak hutan sebenarnya berakar pada pandangan-pandangan konservasionis klasik (lihat Gray, 1991), yang pada dasarnya menutup pintu masuk bagi masyarakat terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi. Atau pandangan lain yang berakar pada eko-fascisme, yang melihat konservasi lingkungan sebagai hal yang penting dibanding kehidupan rakyat miskin (lihat Dietz, 1996). Pandangan-pandangan semacam ini tercermin pada aturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan yang dilindungi,seperti taman nasional. UU No/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara tegas tidak memperkenalkan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam di kawasan itu.

Situs Pokekea Megalit Tertua Didunia ?

Situs Pokekea yang terdapat di Kecamatan lore Tengah adalah Situs tertua di Dunia hal itu berdasarkan keterangan salah seorang ahli purbakala dari Jepang yang sempat 1 bulan melakukan penelitian ditempat Situs, karena menurutnya selama beliau sudah berumur 90 tahun dan cukup lama bergelut dibidang peninggalan Jaman terdahulu, hampir seluru dunia melakukan penelitian baru disitus Pokekea, beliau terkagum dengan keunikan-nya, dan menurutnya lagi beliau perna di Mexiko melakukan penelitian, tidak sebagus Megalit yang berada di Wilayah Lore tersebut.

Malah lebih tua dari megalit yang ada di Mexiko, karena Mexiko negara yang dekat dengan Amerika dan promosi wisata di Amerika cepat sehingga sangat terkenal yang ia sangat sayangkan pihak Pemerintah Poso, khususnya Dinas Parawisata tidak terlalu memperhatikan situs tersebut padahal situs ini nilai sejarahnya sangat tinggi, danmenjadi incaran wisatawan Manca Negara.

Dengan kurangannya promosi wisata akhirnya wilayah Lore kurang dikenal oleh dunia padahal banyak sekali aset-aset jaman purbakala yang sangat besar nilai sejarahnya, Bagi masyarakat Kabupaten Poso. harapannya agar pihak pemerintah Kabupaten Poso benar-benar memperhatikan batu-batu Megalit yang berada di Wilaya Lore.